BatasMedia99.com,- JAKARTA. Kantor redaksi Tempo kembali mendapat kiriman kotak berisi bangkai tikus yang dipenggal, setelah sebelumnya paket potongan kepala babi. Organisasi media dan pegiat kebebasan pers mengecam tindakan intimidasi dan ancaman yang ditujukan kepada jurnalis Tempo, serta mendesak Bareskrim Polri menangkap pelakunya.
Kebebasan pers di Indonesia kian memburuk dalam dua tahun terakhir seiring meningkatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis, menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Data AJI Indonesia mencatat terdapat 101 kasus kekerasan pada 2023 dan 73 kasus setahun sesudahnya.
Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menyatakan setiap perkara yang masuk ke lembaganya pasti dilaporkan ke kepolisian, namun mayoritas pelakunya tak tertangkap.
Selain jumlahnya masih tinggi, menurut Nany, bentuk kekerasannya mengkhawatirkan mulai dari pelemparan bom molotov ke kantor redaksi media Jubi, pembunuhan terhadap wartawan Rico Sempurna Pasaribu, hingga yang terbaru mengirimkan kepala babi ke jurnalis Tempo.
“Jadi bisa saya bilang kebebasan pers di era reformasi enggak jauh lebih baik dari era Orde Baru,” ujar Nany.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, meminta pers nasional tidak takut terhadap berbagai model ancaman dan tetap menjalankan tugasnya secara profesional.
Begitu pula perusahaan pers diharapkan bertanggung jawab atas keselamatan dan perlindungan para jurnalisnya dalam bekerja.
Sebab sampai sekarang, kata Ninik, belum ada satupun mekanisme dari negara yang memberikan perlindungan kepada kerja-kerja jurnalis sebagai human rights defender.
Menurut Ninik, penurunan angka Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) sekaligus memperlihatkan “bahwa kondisi pers nasional tidak sedang baik-baik saja”.
Kronologi peristiwa paket bangkai tikus dan kepala babi
Setelah paket potongan kepala babi, kantor redaksi Tempo mendapatkan kiriman kedua berupa kotak berisi bangkai tikus yang dipenggal.
Petugas kebersihan Tempo menemukannya kardus berisi enam ekor tikus pada Sabtu (22/03) pukul 08.00 WIB.
Dikutip dari Tempo, petugas kebersihan bernama Agus tersebut memanggil petugas kebersihan lain dan satpam Tempo.
Ketika kardus dibuka, ada enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal yang ditumpuk dengan badannya. Tak ada tulisan apa pun di kotak kardus tersebut.
Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra mengeklaim sebelum bangkai tikus, redaksi Tempo menerima pesan ancaman melalui media sosial pada Jumat (21/03).
Pengendali akun itu menyatakan akan terus mengirimkan teror “sampai mampus kantor kalian”.
Beberapa hari sebelumnya, pada Rabu (19/03), kantor redaksi Tempo juga menerima paket berisi kepala babi tanpa telinga.
Paket ditujukan untuk Francisca Christy Rosana, wartawan desk politik Tempo dan host siniar Bocor Alus Politik.
Komite Keselamatan Jurnalis bersama Tempo telah melaporkan “teror kepala babi” yang dikirimkan orang tak dikenal kepada jurnalis Tempo ke Bareskrim Polri, Jumat (21/03).
Koordinator KKJ, Erick Tanjung, mengatakan teror ini merupakan bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selain juga dianggap sebagai ancaman terhadap nyawa jurnalis.
“Jadi yang kami laporkan itu adalah pengiriman paket kepala babi dengan dua telinga dipotong,” ujar Erick Tanjung kepada BBC News Indonesia.
“Untuk pasal pidana, kami juga menggunakan pasal 170 ayat 1 dan pasal 406 ayat 1 KUHP.
Berdasarkan informasi yang dia peroleh, paket tersebut diterima oleh satuan pengamanan Tempo pada Rabu (19/03) sore dan ditujukan kepada seorang jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, wartawan desk politik sekaligus pembawa siniar Bocor Alus Politik.
Paket itu diantar oleh seorang pria yang mengendarai sepeda motor, berjaket hitam, dan mengenakan helm ojek online.
Begitu sampai di depan gerbang, paket tanpa identitas pengirim tersebut diserahkan dalam kondisi terbungkus rapi sehingga tidak memunculkan kecurigaan apapun, menurut Erick. Bahkan satuan pengamanan Tempo tak mencium bau.
Esoknya atau Kamis (20/03) sore, Cica—sapaan akrab Francisca—bersama Hussein Abri Yusuf Muda baru saja pulang liputan. Karena mendapat informasi ada paket kiriman untuknya, Cica disebut membawa kardus itu ke lantai 4.
Hussein, tutur Erick, yang membukanya dan tercium bau menyengat.
“Jadi ada kardus, kemudian di dalamnya ada styrofoam. Di dalam styrofoam itu ada plastik lagi. Pas dibuka styrofoam itu baru tercium bau menyengat,” papar Erick.
“Saat dibuka plastiknya ada kelihatan kepala babi dengan dua telinga dipotong.”
Bukan teror pertama
Erick Tanjung berkata teror yang dialami Cica bukanlah yang pertama.
Dalam sebulan terakhir, jurnalis Tempo ini kerap dihubungi oleh nomor tak dikenal. Cica juga merasa dikuntit oleh sosok mencurigakan.
Wartawan lain yang tampil membawakan siniar Bocor Alus Politik, yakni Hussein Abri Yusuf Muda, mengalami ancaman serupa seperti dikontak berulang-ulang dari nomor tertentu hingga kaca mobilnya dirusak orang tak dikenal dalam rentang empat bulan terakhir.
Pada periode itu, katanya, pemberitaan Tempo memang banyak mengkritik kebijakan pemerintah.
Mulai dari keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memboyong semua menteri dan pejabat ke Akademi Militer, bagi-bagi konsesi tambang untuk kampus dan koperasi, efisiensi anggaran, hingga yang teranyar adalah Revisi UU TNI.
“Jadi dugaan kami ini bukan teror atau intimidasi ke individu, tapi intimidasi atas kerja-kerja jurnalistik mereka,” tegas Erick.
“Siapa pun otak pelakunya apakah melibatkan orang berkuasa atau tidak, harus diungkap.”
Saat ini, sambung Erick, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) sudah menempatkan Cica di safe house demi keamanan dan keselamatan nyawanya.
Pasalnya KKJ menilai teror kepala babi ini sudah termasuk dalam skala berbahaya yakni ancaman pembunuhan.
“Dia sempat mengalami trauma yang cukup berat saat kejadian.”
“Kami juga melihat ini simbol ancaman pembunuhan sekaligus peringatan kepada Tempo. ‘Kalau masih memberitakan berita-berita yang merugikan pihak tertentu, kalian bisa dibunuh’, begitulah kira-kira pesannya.”
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra menduga upaya ini sebagai teror terhadap karya jurnalistik Tempo.
“Kami mencurigai ini sebagai upaya teror dan melakukan langkah-langkah yang menghambat kerja jurnalistik,” kata dia.
Adapun Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, mengatakan kejadian ini bukan teror pertama.
“Namun teror pertama memakai potongan organ makhluk hidup,” katanya kepada BBC News Indonesia.
“Beberapa wartawan Tempo mendapat teror beragam dalam satu dua pekan terakhir. Dalam setahun lebih banyak lagi.”
Kendati begitu, dia bilang tidak bisa menyimpulkan apakah ancaman tersebut berkaitan dengan pemberitaan soal RUU TNI sebab “hampir di seluruh liputan Tempo memakai pendekatan kritik,” sambungnya.
Terakhir dia mengungkapkan kondisi Cica baik-baik saja dan tetap bekerja seperti biasa.
Apa pesan dari teror kepala babi?
Dosen antropologi Universitas Indonesia, Geger Riyanto, menjelaskan teror yang menggunakan bangkai hewan atau potongan organ hewan memiliki pesan tersendiri.
Dalam beberapa kasus, ungkapnya, benda-benda itu ditujukan supaya pihak yang selama ini melakukan perlawanan diam dan berhenti berbicara kritis.
Jika tidak, maka “hal buruk bisa terjadi kepada kamu, kira-kira begitu pesannya,” papar Geger Riyanto.
“Karena kepala babi itu kan hal yang sangat negatif dan mengarah ke hal-hal buruk.”
“Jadi ini bentuk teror yang sangat universal karena enggak sulit untuk mendapatkan kepala hewan begitu tinggal dicari di pasar.”
Tapi terlepas dari itu, menurut dia, pesan yang ingin disampaikan pelaku teror kepala babi tersebut adalah mengintimidasi kebebasan pers yang artinya jurnalis atau media tidak lagi mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru.
Sepanjang pengamatannya, bentuk-bentuk teror, ancaman, dan intimidasi yang dialami jurnalis sangat beragam.
Yang paling umum terjadi saat ini di antaranya doxing atau perbuatan membuka data diri seseorang dan membagikannya di ruang publik tanpa persetujuan.
Namun ada juga yang berujung pada tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Karenanya, Geger Riyanto mendesak kepolisian agar mengungkap dan menangkap pelakunya.
“Pelaku utamanya pasti menggunakan perpanjangan tangan orang lain. Itu dilakukan agar kita kesulitan mendapatkan ujungnya kemana dan siapa. Kita cuma bisa menduga-duga siapa yang punya kepentingan untuk melakukan teror ini.”
Kebebasan pers kian memburuk
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menilai adanya teror kepala babi ini membuat kebebasan pers di Indonesia kian memburuk sejak dua tahun terakhir seiring meningkatnya kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Data AJI Indonesia mencatat terdapat 101 kasus kekerasan pada 2023 dan setahun berikutnya ada 73 kejadian.
Pada 2020, angkanya sempat tinggi yakni 85 kasus, namun tahun-tahun setelahnya turun menjadi 48 kasus dan 68 kasus.
Nany Afrida menyatakan setiap perkara yang masuk ke lembaganya pasti dilaporkan ke kepolisian, namun mayoritas pelakunya tak tertangkap.
Sekarang itu setiap hari kami pasti dapat informasi tentang kekerasan, kalau dulu-dulu tidak seramai ini,” jelas Nany.
“Selama tiga bulan ini misalnya, sudah hampir 20 kasus masuk. Itu belum ditambah beberapa kasus kemarin yang demo anti RUU TNI.”
“Di demo RUU TNI, kami dapat informasi ada wartawan yang dikejar-kejar sama polisi, ada anak pers mahasiswa dipukulin sampai luka parah.”
Nany Afrida khawatir jika kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis tak jelas ujungnya, maka pelakunya tidak akan jera.
Bahkan bentuk kekerasannya pun, bisa semakin berbahaya. Ia mencontohkan tiga kasus besar:
Pertama, peristiwa pelemparan bom molotov ke kantor redaksi Jujur Bicara alias Jubi di Kota Jayapura, Papua, pada Oktober 2024.
Menurut kesaksian Pemimpin Redaksi (Pemred) Jubi, Jean Bisay, pelemparan bom molotov itu dilakukan oleh dua orang tak dikenal yang berboncengan menggunakan sepeda motor.
Bom itu dilemparkan dari pinggir jalan di depan kantor redaksi Jubi yang membuat api berkobar di antara dua mobil operasional Jubi yang diparkir di halaman kantor.
Kata Nany, Jubi salah satu media yang selalu mengkritisi praktik-praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang diduga aparat terhadap warga lokal di Papua.
Hingga kini proses penyelidikan teror molotov tersebut masih menggantung.
Namun pada akhir Januari lalu, penyidik Polda papua mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan atau SP2HP yang isinya melimpahkan perkara ini ke Denpomdam XVII Cendrawasih.
Kedua, kasus pembunuhan wartawan Rico Sempurna Pasaribu beserta keluarganya di Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
Pada akhir Juni lalu, Rico ditemukan tewas dalam kebakaran yang melahap rumahnya. Kebakaran tersebut tidak hanya menghanguskan rumah, tapi juga menewaskan Rico beserta istri dan kedua anaknya.
Mulanya, kebakaran itu dianggap sebagai kecelakaan biasa, namun penyelidikan lebih lanjut mengungkap adanya unsur pembunuhan berencana.
Sebab beberapa hari sebelum kematiannya, Rico menerbitkan laporan investigasi lengkap beserta foto lokasi judi, alamat, dan identitas aparat yang diduga terlibat.
Berita investigasi berjudul “Lokasi Perjudian di Jalan Kapten Bom Ginting Ternyata Milik Oknum TNI Berpangkat Koptu Anggota Batalyon 125 Sim” dapat dibaca dalam laman Tribata TV pada 22 Juni 2024. Dalam berita yang ditulis oleh Rico tersebut, korban menyinggung oknum TNI, Koptu HB.
Tiga pelaku, Bebas Ginting alias Bulang, Yunus Tarigan, dan Rudi Sembiring dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum karena dinyatakan melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Ketiga, rentetan teror kepada jurnalis Tempo yang juga pembawa siniar Bocor Alus Politik.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Erick Tanjung, mengatakan sebelum teror paket kepala babi yang ditujukan kepada jurnalis Francisca Christy Rosana, wartawan Hussein Abri Yusuf Muda juga mengalami intimidasi berupa kaca mobilnya dipecahkan orang tak dikenal sebanyak dua kali.
“Nah teror kepala babi ini kenapa menarik, karena yang disasar itu wartawan perempuan dan ini hal yang serius karena secara simbolik ada maksudnya,” jelas Nany.
“Bayangkan kepala babi telinganya dipotong, itu kan seperti kasih tahu bahwa ‘kalau kamu nulis lagi, kamu akan mengalami seperti itu
Sependek ingatannya, teror serupa pernah terjadi kepada redaksi koran Suara Indonesia di Malang, Jawa Timur, pada era 1980-an.
Stanley Adi Prasetyo, mantan jurnalis dan mantan ketua Dewan Pers menuturkan Suara Indonesia kala itu menjadi salah satu media yang secara kritis menurunkan serial liputan tentang sejumlah kejadian yang terjadi di Kota Malang dan sekitarnya.
Bukan hanya berita tapi juga menyampaikan kritik dalam tajuk rencananya.
“Redaksi Suara Indonesia juga mengangkat sejumlah suara kritis masyarakat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk memberantas kejahatan melalui metode penembakan misterius,” tulis Stanley.
Penembakan misterius yang dimaksud itu terjadi di era Orde Baru atau tepatnya sepanjang 1982-1985.
Kala itu ada serangkaian penembakan misterius di berbagai tempat yang sebagian besar korbannya adalah para residivis, preman, penjahat, atau anggota geng yang umumnya ditemukan di dalam karung di pinggir jalan dengan kondisi tangan terikat dan luka tembakan di bagian mulut atau dahi.
Ketika itu, Presiden Suharto mengungkapkan, tindakan penembakan misterius merupakan bagian dari tindakan shock therapy bagi para penjahat atau orang-orang yang dianggap sejenis. Secara resmi, Suharto mengakui dirinya berinisiatif mendorong penembakan para preman.
Hal tersebut disampaikannya saat membuka seminar Pencegahan Kejahatan dan pembinaan Narapidana di Istana Negara Jakarta pada 13 Januari 1984.
Sejumlah kalangan dari kelompok sipil, aktivis hak asasi manusia, rohaniawan, termasuk media, menentang tindakan itu.
“Rupanya nada kritis Suara Indonesia berbuah pembalasan. Pada Rabu pagi dini hari sekitar pukul 03.00, yakni 16 November 1984 kantor redaksi Suara Indonesia dikirimi paket berisi potongan kepala manusia.”
“Potongan kepala manusia yang ditengarai sebagai potongan kepala dari korban petrus ini diletakkan persis di pintu masuk kantor redaksi
Nany juga was-was jika kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis ini tak diusut tuntas maka trennya bakal meningkat. Sebab pelakunya tak takut mengulangi perbuatannya.
Imbasnya jurnalis dan perusahaan pers yang terintimidasi bakal melakukan swa-sensor.
Artinya, tak ada lagi kemerdekaan pers dalam melaksanakan tugasnya.
“Jadi bisa saya bilang kebebasan pers di era reformasi enggak jauh lebih baik dari era Orde Baru,” tegasnya.
“Kalau dulu Orde Baru semua pemberitaan harus sesuai narasi pemerintah, tidak boleh ada yang melenceng karena wartawan dalam tekanan tentara.”
“Sekarang kita berhadapan dengan polisi dan tentara di eranya Presiden Prabowo.”
Dewan pers: Pers nasional jangan takut
Dalam konferensi persnya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, tegas mengutuk keras dan menyebut “paket kepala babi” yang dikirimkan kepada jurnalis Tempo merupakan bentuk nyata teror dan ancaman terhadap independensi serta kemerdekaan pers.
Selain juga sebagai bentuk kekerasan dan premanisme.
Padahal, jelas Ninik, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud berdaulat rakyat yang dijamin dalam Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ia lantas menerangkan bahwa wartawan dan media massa bisa saja dalam menjalankan tugasnya melakukan kesalahan. Tetapi, melakukan teror terhadap jurnalis, baginya, adalah perbuatan yang tidak berperikemanusiaan.
“Tindakan itu sekaligus melanggar hak asasi manusia memperoleh informasi,” ujarnya di Gedung Dewan Pers.
Dan jika ada pihak-pihak yang berkeberatan atas kesalahan para wartawan tersebut atau produk jurnalistiknya, merasa dirugikan atas pemberitaan, maka bisa ditempuh hak jawab.”
“Itu diatur dalam UU Pers serta kode etik jurnalistik.”
Ninik pun berharap kepolisian mengusut tuntas pelaki teror ini. Sebab jika dibiarkan maka ancaman serta teror serupa akan terus saja berulang.
Selanjutnya Ninik meminta pers nasional tidak takut terhadap berbagai model ancaman dan tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Begitu pula perusahaan pers diharapkan bertanggung jawab atas keselataman dan perlindungan para jurnalisnya dalam bekerja.
Ini karena sampai sekarang, katanya, belum ada satupun mekanisme dari negara yang memberikan perlindungan kepada kerja-kerja jurnalis sebagai human rights defender.
“Pers tetap kritis dalam menyampaikan pesan kebenaran serta masukan terhadap pembuat kebijakan sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi secara utuh dari berbagai pihak.”
“Dengan tetap mempertimbangkan keamanan ya,” tegasnya.
Dikutip dari laman Dewan Pers, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2024 menunjukkan penurunan ke angka 69,36 dibandingkan tahun 2023 yang berada di 71,57. Hal ini merupakan penurunan cukup tajam dibandingkan IKP tahun 2022 yang mencapai 77,88.
Nilai IKP 2024 yang sebesar 69,36 itu masuk ke dalam kategori “Cukup Bebas”. Nilai ini turun -2,21 poin dibandingkan nilai IKP pada 2023.
Skor di setiap lingkungan berada dalam kisaran angka yang hampir sama, yaitu di sekitar 67-70, yang menunjukkan bahwa kondisi kemerdekaan pers nasional berada dalam kategori “Cukup Bebas” di semua lingkungan.
Sekalipun demikian, Lingkungan Ekonomi skornya paling rendah, yaitu 67,74, Lingkungan Fisik & Politik memiliki angka lebih tinggi, yaitu 70,06, dan Lingkungan Hukum memiliki angka 69,44.
“Penurunan angka IKP itu memperlihatkan, bahwa kondisi pers nasional tidak sedang baik-baik saja. Hal itu bisa dilihat dari lingkungan ekonomi, hukum, maupun politik yang berpengaruh terhadap angka IKP nasional,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu.
Pewarta : Red