Pasuruan- Batasmedia99,Pimpinan LSM GERAH Pasuruan Raya Musa Abidin, yang juga bagian dari Gerakan Rakyat untuk Transparansi Pemilu dan Pilkada (GERTAP), sebuah aliansi yang berkomitmen mengawasi pemilu yang bersih, transparan, dan berintegritas di Kabupaten Pasuruan, melayangkan kritik keras terhadap Bawaslu Kabupaten Pasuruan. Rabu ( 11/09/2024).
Musa menilai Bawaslu telah menginterpretasikan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada secara sempit.
Dalam aksi unjuk rasa yang digelar GERTAP, Musa Abidin menegaskan bahwa regulasi di Indonesia saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. "Tidak ada satu regulasi yang berdiri sendiri tanpa memperhatikan aturan lainnya, karena hal ini dapat menimbulkan kontradiksi dalam penerapannya.
Misalnya, jika janji politik di luar masa kampanye dianggap tidak melanggar oleh Bawaslu, interpretasi tersebut jelas bertentangan dengan peraturan lain, seperti UU No. 31 Tahun 1999 yang melarang pemberian janji kepada aparatur pemerintah, karena dapat dianggap sebagai bentuk gratifikasi, penerapan UU UU No. 31 Tahun 1999 ini tidak dibatasi oleh waktu, momentum, atau agenda apapun" tegas Musa.
Ia menambahkan bahwa dalam UU 31/1999 tersebut, janji kepada aparatur pemerintah dapat dianggap sebagai iming-iming kesejahteraan bagi aparatur pemerintah yang disampaikan pada momentum politik, dan ketentuan ini berlaku tanpa terikat oleh waktu tertentu. "Apakah itu tidak berlaku hanya karena calon kepala daerah belum ditetapkan secara resmi? Jika demikian, interpretasi Bawaslu sangat tidak relevan," ujarnya.
Lebih jauh, Musa juga mengatakan bahwa UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, secara jelas melarang perangkat desa untuk terlibat dalam politik aktif, kapanpun selama menjabat.
Namun, ia mempertanyakan mengapa Bawaslu tidak menganggap janji-janji yang diberikan oleh Rusdi Sutejo kepada perangkat desa bukan sebagai pelanggaran serius hanya dikarenakan dilakukan sebelum penetapan calon. "Ini adalah contoh lain dari interpretasi yang keliru," katanya.
Musa Abidin mendesak agar Bawaslu tidak memandang UU Pilkada secara parsial. "Janji-janji yang diberikan kepada perangkat desa atau aparatur pemerintah menjelang pemilihan bupati sangat erat kaitannya dengan aturan tentang regulasi yang mengatur larangan gratifikasi serta regulasi yang mengatur netralitas aparatur pemerintahan. Bawaslu tidak boleh hanya fokus pada aturan kampanye, tetapi harus melihat keseluruhan konteks aturan dan perundangan yang berlaku," tambahnya.
Lebih lanjut, Musa menjelaskan bahwa UU Pilkada tidak dapat dipisahkan dari regulasi lainnya. Jika hanya UU Pilkada yang menjadi acuan tanpa mempertimbangkan UU lain, seperti yang mengatur gratifikasi dan netralitas, akan terjadi "conflict of decision," atau ketidakselarasan dalam keputusan yang diambil. "Keputusan Bawaslu yang hanya berfokus pada UU Pilkada akan kontradiktif dengan regulasi lain yang mengatur netralitas aparatur negara," ujarnya.
Musa berharap Bawaslu Kabupaten Pasuruan dapat menerapkan penegakan hukum secara lebih menyeluruh dan komprehensif, dengan memperhatikan regulasi lain yang saling berhubungan dengan UU Pilkada. "Kami mengharapkan didalam penegakannya Bawaslu memperhatikan serta menggunakan semua aturan yang ada, dan tidak hanya aturan Pemilukada. Ini sangat penting untuk menjaga integritas pemilu dan mencegah politik transaksional," tegas Musa.
Lebih lanjut, Musa menyoroti adanya kompleksitas pelanggaran terkait MoU antara Rusdi Sutejo dan PPDI, terutama karena di dalam MoU tersebut ada kewajiban bagi perangkat desa untuk menyosialisasikan visi misi Rusdi Sutejo. "Bagaimana dengan perangkat desa yang tidak setuju dengan isi MoU tersebut? Apakah mereka dipaksa ikut dalam kegiatan politik calon tertentu? Ini menambah kompleksitas pelanggaran yang ada," tambahnya.
Musa juga menyoroti isu kesejahteraan aparatur negara, termasuk perangkat desa, yang sudah diatur dengan jelas dalam berbagai regulasi, seperti UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). "Kesejahteraan aparatur negara sudah dijamin melalui mekanisme APBD dan peraturan lainnya. Oleh karena itu, sangat tidak berdasar jika salah satu calon bupati menjadikan kesejahteraan sebagai janji politik, karena itu sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, siapa pun yang terpilih," jelasnya.
Musa juga menekankan bahwa ada peran penting DPRD dalam menentukan kebijakan anggaran terkait kesejahteraan aparatur negara. "Regulasi terkait pemilihan bupati harus dilihat secara menyeluruh. Setiap janji yang menyangkut kesejahteraan aparatur negara tidak bisa digunakan sebagai alat politik oleh calon kepala daerah, karena kebijakan tersebut memerlukan persetujuan DPRD dan mekanisme pemerintah lainnya, jadi bukan sepihak oleh bupati," pungkasnya.
Tim203/Red